GTK Dikdas - Dalam sebuah kunjungan kerja mendampingi Mas Menteri Nadiem di sebuah sekolah dasar di kota Sorong, Papua Barat, saya berkenalan dengan Ibu Siti dan Ibu Bertin, peserta program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) angkatan pertama. Mereka sedang mempersiapkan materi pembelajaran siswanya dengan menggunakan teknologi formulir digital. Kepala sekolahnya, Ibu Maryatin dengan bersemangat mengungkapkan kebanggaannya kepada kedua guru ini. Mas Menteri dan saya pun sangat terkesan dengan filosofi kedua guru ini yang sangat berorientasi kepada murid. Yang lebih mengesankan lagi adalah kami menjumpai hal yang sama di guru-guru yang mengikuti PGP di Kalimantan Timur, Jambi, Nusa Tenggara Barat dan berbagai daerah lainnya di seluruh Indonesia. Pendidikan Guru Penggerak adalah program penyiapan generasi baru kepemimpinan pendidikan Indonesia, yaitu pemimpin pembelajaran (instructional leadership) yang berpihak kepada murid, memiliki pola pikir berkembang (growth mindset), serta gemar belajar dan berbagi.
Berpihak kepada murid
Ada hal berbeda dari cara guru penggerak bertutur, berefleksi, dan menyampaikan gagasan atau pertanyaan. Rasa kasmaran pada pendidikan yang berpihak kepada murid sangat jelas terasa. Kejujuran dan keberanian mengakui kealpaan masa lalu yang tidak menempatkan murid sebagai fokus utama bukan hal yang biasa hadir dalam diskusi guru. Pengakuan mereka apa adanya namun terasa sangat dalam maknanya. Bahkan mereka merasa telah berdosa belasan tahun. Mengakui hal tersebut di sebuah forum publik dengan menteri, kepala daerah, kepala dinas pendidikan, dan disaksikan kolega lainnya bukanlah hal yang mudah.
Lalu mereka pun sampaikan tekad, rasa greget, untuk menebus kesalahan menahun tersebut. Disertai tekad untuk mengajak dan menggerakkan rekan guru lainnya agar memiliki prinsip yang sama, menomorsatukan murid dalam setiap keputusannya sebagai pendidik. Ada nyala baru dalam jiwa mereka. Ada sebuah tujuan dan harapan baru. Memerdekakan murid dan rekan guru lainnya.
Perubahan pola pikir
Yang paling mengesankan dari semuanya adalah terlihat sebuah perubahan pola pikir guru-guru dalam Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang merupakan salah satu program terobosan Merdeka Belajar. Guru-guru ini bertransformasi menjadi pemecah masalah. Jika ada masalah, mereka cenderung memikirkan apa solusi yang bisa dilakukan. Mereka tidak berhenti pada keluh kesah dan perasaan tidak berdaya. Mereka bersikap positif, tidak hilang akal. Ibarat pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi. Mereka memiliki keyakinan diri, kemauan kuat untuk terus belajar, daya juang (resilience), dan semangat berkolaborasi. Mereka tidak merasa sendirian, saling membantu satu dan lainnya.
Semangat mereka egaliter. Dalam PGP, guru-guru negeri, swasta, honorer lintas jenjang, lintas mata pelajaran, belajar bersama-sama. Sebelumnya sangat jarang terjadi guru TK bisa belajar bersama dengan guru SMA. Dalam PGP, para guru mendobrak sekat feodal yang biasanya mengisolasi interaksi. Bahkan guru TK dan SD dapat menjadi mentor bagi guru jenjang lainnya. Mereka saling menghormati, berkolaborasi, dan belajar dari satu sama lain.
Walau banyak tugas yang harus mereka kerjakan hingga larut malam, tidak jarang guru-guru ini menambah kegiatan sendiri walaupun tidak masuk dalam penilaian dalam PGP. Mereka membuat pelatihan di sekolahnya, atau berbagi dengan sekolah lainnya. Karena mereka memiliki keresahan dan kerinduan untuk hadirnya perubahan pembelajaran dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Mereka tidak menunggu instruksi, perintah, atau aba-aba. Mereka ambil langkah pertama secara bersama-sama demi kemajuan rekan pendidik lainnya dan para murid.
Semangat belajar dan berbagi
Sebuah transformasi fundamental saat ini sedang terjadi diantara para guru seluruh Indonesia. Selain di Pendidikan Guru Penggerak, jutaan guru lainnya sedang bertransformasi dalam masa pandemi ini. Karena dipaksa oleh keadaan, guru melakukan adaptasi pembelajaran. Mereka mulai bereksperimentasi dengan menggunakan teknologi. Mereka mulai menggunakan asesmen diagnostik. Kurikulum disederhanakan agar dapat lebih fokus kepada hal-hal yang esensial.
Seperti guru-guru yang saya temui di sebuah sekolah dasar yang sederhana di kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun ajaran baru 2021/2022 dimulai, sekolah ini menerapkan pendekatan Teach at the Right Level (TaRL) dengan fokus kepada literasi dan numerasi. Mereka menggunakan kurikulum darurat yang disusun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tak lama setelah pandemi melanda, sehingga dapat fokus kepada kompetensi esensial. Murid-murid yang tadinya ada di kelas 1-6 sekarang dikelompokkan berdasarkan kemampuan, bukan lagi berdasarkan kelasnya. Guru-gurunya terlihat cukup peka terhadap level kemampuan dan kesiapan belajar muridnya. Dari asesmen formatif yang dilakukan, mereka memantau peningkatan kemampuan murid dalam literasi dan numerasi, termasuk pada murid-murid yang memiliki disabilitas. Pemulihan pembelajaran sedang terjadi di sekolah ini setelah melalui pembelajaran di masa pandemi yang berkepanjangan.
Sekolah ini pun menginspirasi sekolah lainnya. Mereka pun memberikan pelatihan kepada kepala sekolah dan guru di beberapa sekolah lainnya. Kepala sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler untuk melaksanakan pelatihan-pelatihan tersebut. Pada akhirnya terbentuk sebuah komunitas belajar antar sekolah yang saling mendukung untuk tujuan pembelajaran yang terbaik bagi para muridnya.
Budaya belajar semakin menguat diantara para guru Indonesia selama pandemi. Misalnya dalam platform belajar bernama Guru Belajar dan Berbagi yang dikembangkan Kemendikbudristek. Dalam platform ini guru-guru dari berbagai mata pelajaran dan jenjang dapat mengikuti berbagai program belajar mandiri secara gratis. Platform ini juga membuka ruang kolaborasi pemerintah, guru, komunitas, dan penggerak pendidikan untuk bergotong royong berbagi ide dan praktik baik.
Para pendidik berbagi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), artikel, video pembelajaran, dan aksi webinar. Saat ini terdapat hampir 200 ribu RPP, artikel, dan video dalam platform Guru Belajar dan Berbagi. Lebih dari 1 juta guru dari 73 persen sekolah di seluruh Indonesia telah berpartisipasi. Platform ini juga telah diakses lebih dari 100 juta kali, termasuk oleh hampir 40 persen guru dari daerah terdepan, terpencil, tertinggal (3T).
Transformasi "Guru Merdeka Belajar"
Merdeka Belajar sesungguhnya merupakan filosofi kebijakan pendidikan yang berpijak pada filosofi Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Nilai utama seorang guru tersirat dalam semboyan beliau, yaitu Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Guru sejatinya adalah seorang teladan, yang senantiasa membangkitkan semangat dan menguatkan kemauan, dan mendorong kemandirian dan kemerdekaan muridnya.
Dari filosofi Ki Hajar Dewantara, kita bisa mencermati tiga ciri utama guru yang baik. Pertama, guru harus memandang anak dengan rasa hormat. Inilah nilai yang paling fundamental seorang guru. Setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Bahkan dua anak kembar pun memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Ki Hajar menganalogikan pendidik seperti petani, dan murid seperti bibit yang dirawat oleh petani tersebut. Jika petani mendapat bibit padi, maka ia harus menumbuhkan bibit tersebut menjadi padi. Tidaklah realistis mengharapkan bibit padi tumbuh menjadi jagung. Itu berarti berlawanan dengan kodrat penciptaan padi. Selain itu, sang petani harus menumbuhkan padi sesuai dengan ilmu perawatan padi. Janganlah merawat padi dengan ilmu merawat jagung. Maka padi tidak akan dapat tumbuh dengan sempurna. Karena itu, guru yang baik harus mampu memahami karakteristik dan keunikan setiap muridnya sehingga dapat menumbuhkembangkannya sesuai dengan kodratnya sang murid.
Kedua, guru perlu mendidik murid dengan holistik. Dalam bahasanya Ki Hajar, pendidikan yang holistik tersebut adalah pendidikan yang menjaga keseimbangan olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olah raga. Pendidikan hendaknya bertujuan untuk menajamkan pikiran, menghaluskan perasaan, menguatkan kemauan dan menyehatkan jasmani. Menurut Ki Hajar, keseimbangan proses pendidikan yang holistik akan menghasilkan manusia-manusia yang penuh kebijaksanaan.
Ketiga, guru perlu mendidik murid secara relevan sesuai dengan kodrat keadaannya. Selain kodrat alam kebudayaan dan kebangsaaannya, guru haruslah mendidik murid sesuai dengan kodrat zamannya. Kodrat zaman kita adalah revolusi teknologi digital di semua sektor, atau yang dinamakan revolusi industri 4.0 yang terus bergerak maju dengan sangat cepat. Kita juga sedang dihadapkan pada krisis pandemi global Covid-19 yang telah dan akan terus memengaruhi berbagai dimensi kemasyarakatan kita. Karena itu kodrat keadaan, baik kodrat alam dan kodrat zaman, harus terus disikapi secara arif dan aktif oleh guru dari waktu ke waktu.
Pulihkan pendidikan
Guru adalah profesi yang mulia dan terhormat. Pembenahan tata kelola guru perlu segera diwujudkan agar semua guru mendapatkan kesejahteraan dan kondisi kerja yang layak. Inilah tujuan diadakannya seleksi Aparatur Sipil Negara Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (ASN PPPK). Walaupun tantangan sistem tata kelola guru secara desentralisasi cukup berat, tahun 2021 ini pemerintah daerah telah mengajukan formasi sebesar 506 ribu dalam seleksi Guru ASN PPPK. Ini merupakan rekor formasi ASN Guru terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Kita mengharapkan akan segera terjadi keseimbangan supply and demand dalam kebutuhan guru sehingga kualitas layanan terhadap murid-murid kita akan semakin prima.
Semangat guru untuk terus belajar dan meningkatkan kompetensi yang telah terakselerasi di masa pandemi ini perlu terus diperkuat. Semua pemangku kepentingan haruslah bahu membahu, bergotong royong untuk tujuan yang sama, yaitu para murid seluruh Indonesia. Saat ini sumber dan komunitas belajar ada di mana saja. Belajar bagi para guru bukan lagi masalah kesempatan, tapi lebih pada masalah kemauan. When there is a will, there is a way.
Sebuah harapan baru mulai menguak. Sebuah energi gerakan pun telah dilesatkan. Sebuah revolusi dan transformasi untuk pendidikan Indonesia. Memang masih banyak ‘pekerjaan rumah’. Kita perlu melihatnya sebagai ‘gelas setengah penuh’, bukan ‘gelas setengah kosong’. Mari bergerak dengan hati, hati yang tulus demi kemajuan pelayanan kepada anak-anak Indonesia. Bersama kita pulihkan pendidikan para generasi penerus bangsa. Salam Merdeka Belajar! Selamat Hari Guru Nasional 2021!
Iwan Syahril
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemdikbudristek RI
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hari Guru Nasional 2021: Bergerak dengan Hati, Pulihkan Pendidikan")