Bulan Juli ini Program Guru Penggerak (PGP) tepat berumur 2 tahun. Meski berusia tergolong muda, PGP dituntut untuk produktif dan sangat demanding dari perspektif antusiasme insan pendidikan. Begitu tingginya antusiasme, pada saat peluncurannya tidak hanya diikuti oleh insan pendidikan, juga dihadiri oleh Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota, Organisasi/Asosiasi Profesi Guru, Kepala Sekolah, Guru, dan Pengawas Sekolah. Sebagaimana diketahui khalayak, Kemendikbudristek (saat itu Kemendikbud) meluncurkan Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak (GP) pada tanggal 03 Juli 2020, secara virtual langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Mendikbud menyampaikan, GP merupakan pendorong transformasi pendidikan di Indonesia. GP diharapkan bisa mendukung tumbuh-kembang murid secara holistik sehingga menjadi Pelajar Pancasila, menjadi pelatih atau bisa menjadi mentor bagi guru lainnya untuk pembelajaran yang berpusat pada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi bagi ekosistem pendidikan. Mendikbud menambahkan bahwa arah program GP berfokus pada pedagogi, serta berpusat pada murid dan pengembangan holistik, pelatihan yang menekankan pada kepemimpinan instruksional melalui on-the-job coaching, pendekatan formatif dan berbasis pengembangan, serta kolaboratif dengan pendekatan sekolah menyeluruh (GATRAcom, 2020).
GP juga diharapkan dapat mencetak sebanyak mungkin agen-agen transformasi dalam ekosistem pendidikan yang mampu menghasilkan murid-murid berkompetensi global dan berkarakter Pancasila, mampu mendorong transformasi pendidikan Indonesia, mendorong peningkatan prestasi akademik murid, mengajar dengan kreatif, dan mengembangkan diri secara aktif. Harapan ini bermakna, GP harus berperan lebih dari peran guru yang dijalani saat ini. Setelah menyelesaikan PGP, pada tataran implementasi GP diharapkan menjadi katalis perubahan pendidikan di daerahnya dengan cara: 1) menggerakkan komunitas belajar untuk rekan guru di sekolah dan wilayahnya, 2) menjadi Pengajar Praktik bagi guru lain terkait pengembangan pembelajaran, 3) mendorong peningkatan kepemimpinan murid di sekolah, 4) membuka ruang diskusi positif dan ruang kolaborasi antar-guru dan pemangku kepentingan di dalam dan luar sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, 5) menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being ekosistem pendidikan. Tentu saja, menjadi katalisator perubahan pendidikan bukan hal yang mudah dan sederhana, apalagi jika menggunakan peran yang dilakoni guru selama ini sebagai baseline. Untuk menjalani prosesnya dengan optimal, bagus apabila GP menjalaninya melalui pendekatan Theory of Changes (ToC).
Theory of Changes (ToC)
Secara umum ToC dimaknai sebagai metodologi untuk perencanaan, partisipasi, manajemen adaptif, dan evaluasi yang digunakan di perusahaan, filantropi, nirlaba, pengembangan internasional, penelitian, dan sektor pemerintah untuk mensosialisasikan perubahan. ToC adalah eksplorasi sistematis dan komprehensif tentang bagaimana sebuah perubahan yang diinginkan terjadi pada suatu kondisi tertentu.
Untuk menjadi katalisator perubahan pendidikan di daerahnya, sebagian GP tidak mengalami kesulitan, sebagian lagi mengalaminya. Alternatif aksi yang relatif mudah dilakukan adalah melalui reposisi peran dan perubahan paradigma/mindset mereka sebagai GP. Dengan pendekatan ToC, reposisi dan perubahan mindset dari human resources menjadi human capital akan menjadi sebuah keniscayaan dan keharusan.
Human resources dimaknai sebagai bentuk pengelolaan SDM untuk mendukung target yang ingin dicapai organisasi. Sementara human capital ditafsirkan sebagai bentuk pengelolaan manusia sebagai modal berharga yang dimiliki dan perlu ditingkatkan nilainya agar memberikan keuntungan bagi organisasi. Perbedaan mendasarnya terletak pada cara pandang organisasi terhadap staf yang dimilikinya. Paradigma human resources memperlakukan staf sebagai sumber daya, sedangkan human capital memanfaatkan mereka sebagai aset/modal.
Secara simplifikasi semua biaya yang dikeluarkan dalam proses rekrutmen dan selama bekerja di perusahaan harus berbalik bisa memberikan keuntungan maksimal bagi perusahaan pula. Semua staf akan dinilai dari hasil pekerjaan yang dicapai, sehingga semakin baik kinerja staf akan semakin baik pula reward kepadanya. Secara umum fungsi human resources adalah untuk mengelola, melatih, mengevaluasi dan memberikan kompensasi pada staf yang dimiliki. Human resources wajib menyusun strategi untuk membuat staf yang dimiliki perusahaan dapat mendatangkan keuntungan yang besar bagi perusahaan selama masa kerja yang dimilikinya. Maka mudah disimpulkan bahwa human resources akan berfokus pada hal-hal teknis terkait pekerjaan staf dan target perusahaan.
Sebaliknya, human capital memiliki fungsi untuk merancang strategi yang bertujuan membangun engagement, meningkatkan loyalitas staf, dan menurunkan tingkat turnover. Human capital menjalankan fungsi demikian karena akan terjadi kerugian yang relatif besar jika aset dan investasi yang telah ditanam organisasi tidak bisa berkembang. Staf dinilai dari pertumbuhannya, kontribusi yang diberikan, serta peningkatan keahlian yang secara langsung dapat membuat perubahan dan mendorong perkembangan perusahaan. Mudah dipahami bahwa human capital akan berfokus pada pengembangan staf yang dimiliki, semata-mata demi kebaikan perusahaan.
Pada konteks GP, apakah perbedaan paradigma human resources dan human capital menimbulkan kesenjangan yang besar antara keduanya? Sudah tentu jawabannya ya.
GP sebagai Human Resources
Ketika GP memposisikan dirinya sebagai sumber daya, maka seiring berjalannya waktu, pada suatu saat nanti keberadaannya akan habis, tereduksi, berkurang nilainya, dan menurun produktivitasnya. Untuk memperoleh capaian kinerja maksimal, tentu saja Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing, akan memaksimalkan potensi GP yang dimilikinya. Dengan perspektif human resources, maka: 1) GP merupakan sumber daya milik Pemerintah Daerah, 2) GP berfungsi sebagai pendukung kegiatan Pemerintah Daerah untuk mencapai target yang dicanangkan, 3) secara kuantitas dan kualitas, GP akan berkurang nilainya seiring berjalannya waktu, 4) Pemerintah Daerah akan terus mengoptimalkan kinerja GP yang dimiliki, 5) anggaran dan pembiayaan pembinaan/pengelolaan GP dikategorikan akun biaya, dan 6) GP akan selalu diukur capaian kinerjanya.
GP sebagai Human Capital
Sebaliknya, manakala GP memposisikan dirinya sebagai aset maka GP merupakan investasinya Pemerintah Daerah, dimulai sejak pelantikannya sebagai guru. Selanjutnya proses penempatan, pelatihan, pengembangan karir/kompetensi, termasuk pembayaran gaji/tunjangan kinerja adalah bentuk investasi bagi GP (dan Pemerintah Daerah) sehingga seiring berjalannya waktu GP akan terus meningkat value-nya. Idealnya, peningkatan value GP juga akan membawa keuntungan progresif bagi Pemerintah Daerah. Dengan perspektif human capital maka: 1) GP merupakan aset yang dimiliki Pemerintah Daerah, 2) GP berfungsi sebagai kunci penting kinerja Pemerintah Daerah, 3) GP akan semakin meningkat nilainya jika diberikan treatment yang tepat/sesuai, 4) Pemerintah Daerah secara berkala perlu menambah value GP yang dimiliki, 5) anggaran dan pembiayaan untuk pembinaan/pengelolaan GP dikategorikan akun investasi, dan 6) kinerja GP dinilai dari pengembangan value yang dimilikinya.
Pada konteks ini, GP sebagai human capital harus memiliki setidaknya lima unsur: kemampuan individual, motivasi individual, kepemimpinan, iklim organisasi, dan efektivitas tim kerja. Masing-masing unsur memiliki peranan berbeda dalam peningkatan values GP. Sebagai human capital, GP akan memiliki survival power yang kuat dan bargaining posisition yang tinggi di Pemerintah Daerah (juga Kemendikbudristek), yang akan membuat GP semakin survive, bersinar dan dibutuhkan di ekosistem pendidikan.-