Oleh: Gatot Pramono
Pengembang Teknologi Pembelajaran Ahli Muda
Pemenang Juara Ke-1 || Sayembara Literasi
Bagi Pegawai Direktorat Guru Pendidikan Dasar
You cannot get educated by this self-propagating system in which people study to pass exams, and teach other to pass exams, but nobody knows anything. You learn something by doing it yourself, by asking questions, by thinking, and by experimenting.
(Richard Feynmann – Pemenang Hadiah Nobel Fisika Tahun 1965)
Pengantar
Kurikulum Merdeka Belajar (KMB) merupakan suatu terobosan yang dilakukan oleh Kemdikbud Ristek untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Fitur menonjol dari KMB diantaranya : pembelajaran yang menekankan pada proses, pembelajaran dan assesmen yang fleksibel, dan Profil Pelajar Pancasila (PPP) dengan aktivitas project-based learning yang multi disiplin ilmu. Jika kita bedah isi dari masing-masing fitur maka kita akan menemukan bahwa KMB memiliki semangat yang selaras dengan paradigma pembelajaran konstruktivisme.
Sebagai suatu teori pembelajaran, konstruktivisme muncul belakangan setelah behaviorisme dan kognitivisme walaupun semangat konstruktivisme sendiri sudah muncul sejak awal abad 20 diantaranya melalui pemikiran John Dewey. Dua tokoh penting pembentukan teori konstruktivisme adalah Jean Piaget dan Lev Vygotsky (Harasim, 2007). Jika behaviorisme dan kognitivisme dibangun melalui epistemologi obyektivisme maka konstruktivisme dibangun melalui epistemologi konstruktivisme[1]. Epistemologi objektivisme berlandaskan pada pemikiran bahwa realita dan pengetahuan sudah ada di luar pemikiran manusia dan tugas manusia lah yang kemudian menangkap dan menggenggam pengetahuan ini. Sementara asumsi dasar dan fundamental dari epsitemologi konstruktivisme adalah pengetahuan tidak eksis tanpa pemikiran manusia, pengetahuan dibentuk oleh pemikiran manusia (Charalambos, 2000). Epistemologi konstruktivisme merujuk pada pandangan filosofis dimana pengetahuan dibangun melalui interaksi dengan sesama, komunitas dan lingkungan, dan pengetahuan bukan sesuatu yang absolut (Harasim, 2017). Berdasarkan epistemologi konstruktivisme tersebut maka teori pembelajaran kontruktivisme,menurut Ertmer dan Newby (2013) tidak berpandangan sama dengan behaviorisme dan kognitivisme dimana pengetahuan bebas dari pemikiran manusia dan dapat dipetakan dalam pemikiran manusia. Konstruktivisme tidak menampik realita di luar pemikiran manusia tapi apa yang manusia ketahui tentang dunia luar dibentuk oleh interpretasi dan pengalaman manusia. Manusia membentuk makna dan bukan mengakuisisi makna. Harasim (2017) mengidentifikasi empat kunci penting dalam konstruktivisme yakni : active learning, learning-by-doing, scaffolded learning dan collaborative learning. Schunk (2012) menggaris bawahi bahwa melalui teori konstruktivisme guru semestinya tidak mengajar secara tradisional. Alih-alih guru harus membangun situasi dimana siswa dapat belajar secara aktif melalui konten dan interaksi sosial.
Potensi Konstruktivisme
Lalu bagaimana posisi teori konstruktivisme sendiri saat ini dalam dunia pendidikan? Apakah teori ini akan menggantikan teori behaviorisme dan kognitivisme atau justru menjadi pelengkap yang dominan? Mari kita lihat trend dan fakta yang mendukung implementasi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Para pakar pendidikan menilai bahwa saat ini kemampuan dalam high order thinking skills (HOTS) sangat dibutuhkan oleh para siswa. Dua komponen dalam HOTS yakni berpikir kritis dan berpikir kreatif perlu diperkuat dalam pembelajaran bertipe HOTS. Berpikir kritis, menurut Seifer (2018) berbeda dari berpikir logis. Berpikir logis adalah berpikir secara praktis, sementara berpikir kritis adalah berpikir secara konseptual. Berpikir kritis mampu melihat diluar jangkauan apa yang nampak, mampu membedakan mana yang tidak penting dan mana yang penting. Berpikir kritis tidak semata-mata mengetahui apa yang nampak atau aktual. Sementara itu berpikir kreatif adalah berpikir dengan imajinasi. Berpikir kreatif sering disalah-pahami sebagai kemampuan berpikir yang dibutuhkan untuk bidang tertentu saja misal dalam bidang seni. Padahal berpikir kreatif juga dibutuhkan dalam bidang lain seperti sains dan teknologi. Berpikir kreatif adalah berpikir out of the box. Galileo Galilei tidak akan menemukan prinsip inertia jika ia tidak berpikir secara kreatif. Einstein tidak akan tercatat sebagai pencetus teori relativitas jika ia tidak berpikir kreatif, dan banyak lagi contoh yang lain. Berpikir kritis dan kreatif dapat tumbuh subur dalam lingkungan yang mengimplementasikan pembelajaran konstruktivisme.
Contoh lain dari peran yang dapat disumbangkan oleh konstruktivisme adalah pembelajaran yang berorientasi pemecahan masalah (problem solving). Jonassen (2005) berpandangan bahwa problem solving merupakan salah satu aktivitas kognitif manusia yang otentik dan komplek. Manusia dihadapkan pada tantangan untuk menyelesaikan masalah dengan cepat . Problem solving adalah masalah yang dihadapi manusia nyaris sepanjang hidupnya. Namun demikian pembelajaran di sekolah umunya justru kurang mendukung pembelajaran yang mengedepankan problem solving. Pembelajaran di sekolah lebih mengedepankan pembelajaran yang bersifat content-based , dimana menurut Jonassen pembelajaran content-based memiliki kelemahan. Pertama, pembelajaran ini kurang alami karena tujuan pembelajaran tidak terkait langsung dengan kebutuhan riel manusia akibatnya siswa kurang memiliki motivasi. Kedua, pengetahuan bermakna tidak tidak cukup diperoleh melalui satu cara atau satu sudut pandang. Pengetahuan akan lebih bermakna jika diperoleh lewat banyak sudut pandang. Pembelajaran problem solving mudah terealisasi dengan pendekatan konstruktivisme yang menekankan proses, berorientasi pada kebutuhan siswa dan kolaborasi.
Praktik prinsip-prinisp konstruktivisme dari dunia jaringan komputer (internet) ditunjukkan oleh Harasim (2007). Ia menggunakan istilah kollaborativisme, sebelumnya dikenal dengan istilah online collaborative learning (OCL). Harasim mencatat bahwa teori kollaborative berfokus pada jaringan pembelajaran yang muncul dari keberadaan jaringan komputer. Ia menjabarkan bahwa para pendiri dan penyedia pendidikan online mereformulasi pedagogi di kelas atau merekayasa pedagogi baru yang mengambil manfaat dari keunggulan jaringan komputer yakni memungkinkan siswa bekerja lintas geografi dan waktu dan berkolaborasi dalam aktivitas yang innovatif, berorientasi pada pemecahan masalah, berbagi pengalaman serta berpikir kritis. Jaringan komputer membuka peluang yang tidak terbayangkan sebelumnya yakni : berbagi sudut pandang yang beragam dalam mendiskusikan isu-isu penting, mendorong kemampuan berpikir reflektif dan analitik, membangun respon multi dimensi dan multi disiplin ilmu, serta membangun pemahaman yang melampaui pemahaman kelas konvensional yang mengutamakan paradigma “pembelajarn sukses jika siswa mampu menjawab dengan benar”. Konstruktivisme jelas senafas dengan substansi yang dimiliki oleh collaborative learning seperti yang dijabarkan Harasim di atas.
Jejak Konstruktivisme dalam KMB
Dari uraian di atas maka cukup jelas rasional dari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Pendekatan ini pula yang nampak jelas jejaknya di dalam KMB. Beberapa fitur dari konstruktivisme diantaranya adalah : kolaborasi, belajar aktif (active learning), pengalaman belajar, menekankan proses belajar, dan assesmen yang lebih komprehensif.
Assesmen
Pembelajaran dalam KMB dimulai dengan asesmen awal, tujuan asesmen awal adalah untuk membagi siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pembagian ini juga memudahkan guru dalam melakukan deferensiasi pembelajaran. Dengan deferensiasi guru dapatmemberikan perlakuan yang tepat. Lorna Earl (dalam Tomlinson dan Eidosn, 2003) merefleksikan bahwa deferensiasi memastikan bahwa siswa mendapatkan pembelajaran yang tepat di waktu yang tepat sesuai dengan kemampuannya. Jika guru mengetahui siswanya sudah memiliki pengetahuan awal sesuai dengan kemampuannya dan apa yang dibutuhkan untuk belajar, maka deferensiasi bukan lagi suatu pilihan, deferensiasi adalah respon yang paling nyata yang harus dimiliki guru. Bagaimana guru mengetahui kemampuan awal dari siswa? Salah satu caranya dengan asesmen awal yang memberikan gambaran yang jelas bagi guru untuk merancang pembelajaran melalui deferensiasi. Selain itu guru melakukan asesmen formatif untuk melihat apakah perkembangan siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran. Terakhir guru melakukan asesmen summatif untuk menilai kemampuan siswa secara holistik.
Capaian Pembelajaran (CP) sebagai panduan untuk pembelajaran multi sudut pandang
CP dalam KMB merupakan titik tolak dalam perencanaan pembelajaran. CP mengindikasikan bahwa pembelajaran yang akan disampaikan harus mampu menghasilkan siswa yang mampu berpikir multi sudut pandang, mampu mengolah, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan informasi yang diperoleh. Dengan panduan CP, guru harus yakin siswa akan mampu berpikir kognitif tingkat tinggi. Harasim (2017) menggaris bawahi jika kita meyakini siswa hanya mampu berpikir pasif maka prioritas pembelajaran adalah menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Sebaliknya jika kita meyakini siswa mampu membentuk pengetahuan dengan upaya mereka sendiri, maka pembelajaran yang diberikan akan menopang pembentukan pengetahuan dan makna .
Tantangan bagi siswa yang sudah mahir
Dalam KMB guru diharapkan membagi kelas dalam dua grup dimana grup pertama terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan lebih dan grup kedua terdiri dari siswa dengan kemampuan yang kurang. Pada grup kedua guru mengajarkan seperti biasa dengan pendekatan konstruktivisme. Pada grup pertama guru diharapkan memberi tantangan bagi siswa yang sudah mahir dengan memberi tantangan bagi siswa sebagai tutor membantu pembelajaran di kelas. Pemberian tantangan bagi siswa ini sering disebut sebagai peer tutoring. Mestre (2021) menjelaskan keuntungan dari peer tutoring bagi guru adalah guru mampu berperan sebagai anonim sehingga mampu melihat kelas secara lebih utuh dibandingkan guru mengajar dan hanya melihat secara terbatas. Keuntungan bagi siswa adalah mereka lebih terlibat selama pembelajaran berlangsung dan mendapatkan umpan balik yang cepat.
Scaffolding
Salah satu fitur menonjol dari KMB yang selaras dengan konstruktivisme adalah scaffolding. Metode ini merupakan pengurutan pembelajaran dengan suatu bantuan dan saat performa membaik maka bantuan tersebut perlahan dikurangi secara bertahap. Scaffolding adalah istilah lain dari ZPD atau zone of proximal development yang diperkenalkan oleh Vygorsky (Harasim, 2017). Melalui ZPD, pembelajaran berlangsung saat siswa menyelesaikan masalah di luar batas kemampuannya, tapi masih memiliki potensi berkembang, di bawah bimbingan atau kolaborasi dengan rekan yang lebih mampu. Scaffolding salah satunya dilakukan melalui peer instruction dalam salah satu pembelajaran alternatif yang ditawarkan oleh KMB.
Diferensiasi pembelajaran
Diferensiasi pembelajaran merupakan metode pembelajaran yang mendukung teori konstruktivisme. Tomlinson dan Eidson (2003) 5 elemen dalam diferensiasi pembelajaran yakni : konten, proses, produk, afeksi dan lingkungan pembelajaran. Kelima elemen ini sudah mendapatkan perlakuan yang memadai dalam KMB. Guru merancang tujuan pembelajaran dan alur pembelajaran agar siswa mendapatkan konten yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Guru memberikan beberapa alternatif pembelajaran sehingga proses dapat disesuaikan dengan kondisi siswa. Guru melakukan asesmen awal, asesmen formatif, dan asesmen sumatif untuk menghasilkan produk siswa dengan kemampuan seperti yang ditetapkan dalam CP. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang mengedepankan kolaborasi dan bukan persaingan sehingga afeksi terhadap lingkungan sekolah tumbuh. Melalui project-based learning guru menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran yang lebih bermakna.
Tantangan bagi guru
KMB, seperti uraian di atas, membawa wacana serta tantangan baru bagi para guru dalam implementasinya. Tentu saja hal ini tidak mudah. Berikut ini beberapa tantangan yang dihadapi para guru.
Penutup
Kita lihat kembali kutipan dari Richard Feynman pada awal tulisan ini. Inti dari kutipan Feynman adalah pembelajaran semestinya mampu membangkitkan keingin-tahuan siswa sehingga siswa terdorong untuk belajar secara kritis, aktif dan mencoba dengan pengalamannya sendiri. Pembelajaran seperti inilah yang bermakna karena memberi kesempatan bagi siswa untuk mengarungi lautan pengetahuan dengan pengalamannya sendiri dan menghasilkan pemahamannya sendiri yang unik dan berbeda dari pengalaman dan pemahaman orang lain. Dengan KMB yang membawa suasana yang lebih menyegarkan kita optimis bahwa pendidikan di Indonesia akan lebih baik dan berkualitas.
[1] Nama konstruktivisme digunakan untuk merujuk baik sebagai teori pembelajaran dan epistemologi.
Referensi
Badan Standar, Kurikulum, Dan Asesmen Pendidikan.(2022). Pembelajaran dan Asesmen – Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah.
Charalambos, V. (2000). Constructivism versus Objectivism: Implication for interaction, course design, and evaluation in distance education. In International Journal of Educational Telecommunications, 6(4), 339-362 @2000.
Ertmer, P.A., Newby, T.J.(2013). Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical Features From an Instructional Design Perspective in Performance Improvement Quaterly. Wiley Online library.
Harasim, L. (2017). Learning Theory and Online Technologies. Routledge. New York.
Jonassen, D.H.(2005). Problem Solving : The Enterprise. In Spector, J.M. et al . Innovations in Instructional Technology. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Mestre, J.P., Docktor, J.L.(2021). The Science of Learning Physics : Cognitive Strategies for Improving Instruction. New Jersey : World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
Schunk, D.H.(2013).Learning Theories : An Educational Perspectives. Boston : Pearson Educational.Inc.
Seifer, S.(2018).HOTS Skills : Developing Higher-Order Thinking In Young Learners. St. Paul : Redleaf Press.
Tomlinson, C.A., Eidson, C.C.(2003). Differentiation in Practice : A Resource Guide for Differentiating Curriculum. Alexandria : Association for Supervision and Curriculum Development.