Untuk memberikan pemahaman kepada guru tentang kompetensi literasi dan numerasi yang perlu dikuasai, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), melalui Direktorat Guru Pendidikan Dasar, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI, menyelenggarakan Webinar Literasi dan Numerasi selama dua hari, 21-22 Oktober 2024, dan disiarkan langsung di laman Youtube Guru Dikdas Kemdikbudristek.
Dalam sesi webinar numerasi (22/10) secara khusus membahas mengenai isu perubahan iklim. tak hanya menjadi isu global, isu perubahan iklim telah digunakan sebagai konteks penting dalam proses penguatan numerasi. Dengan mengundang akademisi dan praktisi pendidik yang mumpuni, kegiatan dapat menjadi ruang belajar bagi para guru untuk memahami lebih dalam tentang cara menguatkan kemampuan numerasi peserta didik melalui eksplorasi mengenai isu perubahan iklim baik secara global maupun lokal.
Adapun narasumber yang diundang adalah Desy Fajar Priyayi, dosen Universitas Kristen Satya Wacana (Salatiga) sekaligus kandidat doktor di Monash University (Australia) dan Anton Surawi sebagai guru SDN Alastuwo 2 Magetan (Jawa Timur).
Desy memulai paparannya dengan menjelaskan hubungan isu perubahan iklim dengan numerasi. Mengutip UNFCCC, ia menyampaikan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh aktivitas manusia, baik langsung maupun tidak, yang mengubah komposisi atmosfer global dan menambah variabilitas iklim alami, dan diamati selama periode waktu yang sebanding.
“Dari definisi perubahan iklim sendiri menunjukkan pentingnya numerasi. Ada istilah dalam isu perubahan iklim yang terkait dengan konsep matematika, seperti membandingkan, mengamati, mengobservasi,” ungkapnya.
Selanjutnya, Desy memaparkan bahwa efek rumah kaca merupakan kontributor utama penyebab perubahan iklim. Sebenarnya, efek rumah kaca merupakan proses natural yang terjadi di bumi. Namun, akibat aktivitas manusia (emisi antropogenik) yang menyebabkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca maka terjadi peningkatan suhu di bumi (global warming).
“Karbondioksida merupakan gas rumah kaca yang paling banyak diproduksi manusia melalui penggunaan bahan bakar fosil, pertanian, pembakaran lahan, industri, dan seterusnya,” terangnya. Berkali-kali, Desy menyampaikan bahwa perubahan iklim yang terjadi saat ini sudah mengarah ke krisis iklim dan terus mengarah ke darurat iklim, maka diperlukan aksi nyata untuk merespons kondisi yang terjadi saat ini.
Sayangnya, menurut Climate Action Tracker, Indonesia masih termasuk negara yang belum maksimal merespons isu perubahan iklim, padahal Indonesia menurut The World Bank Ground and Asian Development Bank Indonesia termasuk negara yang sangat rentang terhadap krisis iklim.
Sejalan dengan apa yang sudah dilakukan melalui Kurikulum Merdeka, Desy mengajak para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kemampuan numerasi siswa Indonesia. “Berdasarkan definisi dan hasil diskusi terkait perubahan iklim, kemampuan numerasi sangat penting dikembangkan,” tegas Desy.
Kemampuan numerasi, lanjut Desy, sangat dibutuhkan dalam mendeskripsikan, memprediksi, dan mengkomunikasikan perubahan iklim; menjelaskan hubungan kausalitas (sebab dan akibat) perubahan iklim; serta menentukan pola pikir dan respons terhadap perubahan iklim baik dalam bentuk aksi mitigasi ataupun adaptasi.
“Numerasi melibatkan kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai konteks yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan warga dunia,” ungkap Desy.
Dalam kesempatan yang sama, Anton Surawi (guru SDN Alastuwo 2 Magetan, Jawa Timur) menyampaikan praktik baik yang dilakukan di sekolahnya terkait peningkatan kemampuan literasi siswa dengan konteks isu perubahan iklim. Dalam paparan awalnya ia menyampaikan bahwa saat ini masih banyak masyarakat yang mempercayai bahwa isu krisis iklim itu hanya berita bohong.
“Isu krisis iklim didukung oleh data ilmiah. Perubahan suhu global, kenaikan permukaan laut, banjir rob, dan perubahan cuaca ekstrim adalah dampak nyata dari hasil emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh ulah manusia,” tegasnya meluruskan pandangan yang keliru tersebut.
Seorang guru, menurut Anton, mesti menyelenggarakan pendidikan iklim untuk para siswa. Tidak hanya sebatas pengetahuan, tetapi juga harus dalam bentuk aksi nyata sesuai dengan jenjang pendidikan masing-masing siswa. Ia turut membagikan model implementasi pembelajaran tentang perubahan iklim yang dilakukannya di sekolah.
Anton mengajak siswa untuk melakukan percobaan sederhana bersama-sama. Siswa diajak menjemur air dalam dua gelas selama 1 jam di luar kelas. Satu gelas dibiarkan terbuka dan satu gelas ditutup dengan plastik. Setelah satu jam, siswa mengukur suhu di gelas menggunakan termometer. Dari percobaan itu, siswa memeriksa sendiri bahwa sebelumnya suhu air 26 celcius hingga kemudian menjadi 30 celcius. Pada gilirannya, siswa menemukan kesimpulan bahwa gelas tanpa tutup mengalami peningkatan suhu yang normal sedangkan gelas yang tertutup mengalami peningkatan suhu yang tinggi. Hasil percobaan bersama ini kemudian dikaitkan dengan penjelasan guru tentang perubahan iklim dan pemanasan global.
Tak hanya itu, Anton mengajak siswa untuk melakukan aksi sederhana, yaitu mengunggah video percobaan para siswa tersebut di akun media sosial atau status WhatsApp masing-masing. “Walaupun aksinya kecil tapi berguna,” ungkap Anton.