Magelang - Peserta lokakarya Ethics Education Fellowship mengunjungi situs budaya, salah satu keajaiban dunia "Candi Borobudur" yang merupakan mahakarya peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, di Magelang, Jawa Tengah. Kawasan wisata Candi Borobudur kini telah dibuka kembali setelah ditutup selama pandemi. Bersama Pak Mura, tour guide yang juga pernah memandu presiden Obama dan Pangeran Charles selama mengunjungi Candi Borobudur, peserta antusias menyimak sejarah pembangunan Borobudur. Dan untuk tetap menjaga keutuhan bangunan Candi, pengunjung tidak lagi diperbolehkan naik sampai ke puncak candi. Pengunjung hanya bisa masuk ke pelataran untuk mengurangi kerusakan akibat banyaknya pengunjung yang naik ke atas.
Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra pada abad ke-8. Bangunan candi dibuat menggunakan batu yang dipotong dan disusun sedemikian rupa tanpa menggunakan mortar (elemen untuk merekatkan batu). Candi Borobudur memiliki 6 (enam) teras berbentuk bujur sangkar, yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar dan dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha. Pada tahun 1991, Candi Borobudur ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.
Borobudur dianggap sebagai salah satu "Dhatu Cetiya" yaitu tempat yang patut diberikan puja oleh umat Buddha karena diyakini menyimpan relik rambut Buddha. Pada hari-hari tertentu, Borobudur digunakan oleh umat Buddha untuk merayakan hari-hari besar keagamaan, salah satunya Waisak. Hari Raya Waisak menjadi momen dalam memperingati peristiwa penting yakni hari kelahiran, pencapaian penerahan sempurna, hingga wafatnya Siddharta Gautama Buddha. Ketiga tahapan tersebut disebut Trisuci Waisak. Kegiatan keagamaan di Borobudur juga dilaksanakan untuk menyambut dan mendukung Candi Borobudur sebagai salah satu tempat peribadatan umat Buddha seluruh dunia.
Sesi kunjungan dalam lokakarya Ethics Education Fellowship adalah sebagai media bagi peserta untuk dapat melihat dan mengenal secara langsung keberagaman yang ada. Harapannya, bisa memberikan gambaran nyata tentang sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam acara kunjungan ini, peserta tidak hanya ke Borobudur, tetapi juga beberapa tempat di Magelang dan Yogyakarta, antara lain Pondok Pesantren Pabelan, Mendut Buddhist Monestary, dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.
Pondok Pesantren Pabelan
Pondok Pesantren Pabelan menjadi tujuan ke dua setelah Candi Borobudur. Pondok Pesantren Pabelan terletak di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pabelan didirikan pada 28 Agustus 1965, berasal dari nama sebuah desa di Kabupaten Magelang. Pondok Pesantren Pabelan merupakan lembaga pendidikan yang telah mengalami sejarah panjang, cikal bakalnya pada tahun 1800-an, ditandai dengan kegiatan mengaji yang dirintis oleh Kiai Raden Muhammad Ali. Saat ini, Pondok Pesantren Pabelan menyelenggarakan pendidikan untuk santri putra dan putri SMP/MTs dan MA dalam sebuah kompleks pesantren, di bawah pimpinan Kyai KH. Drs. Ahmad Mustofa, SH. Menurut Kyai Ahmad, dalam pembelajaran, Pondok Pesantren Pabelan menerapkan kurikulum nasional dan kurikulum pesantren, di mana pembiasaan ibadah harian merupakan salah satu penguatan karakter Islam. Hal yang menarik, peserta diterima di gedung perpustakaan milik pondok pesantren. Perpustakaan identik dengan sumber ilmu, letaknya di bagian timur kompleks pondok. Terinspirasi dari ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad, “Iqra”, yang artinya bacalah, menjadi sebuah filosofi bahwa manusia memulai hidupnya dengan membaca.
Mendut Buddhist Monastery
Mendut Buddhist Monastery merupakan sebuah Vihara, tempat ibadah umat Buddha juga tempat belajar mendalami agama bagi biksu. Mendut Buddhist Monastery berlokasi di kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur. Tempat ini mempunyai khas arsitektur bangunan yang di dalamnya terdapat arca dan stupa.
Dipandu Bhante Biku, peserta diajak untuk berkeliling di area Vihara. Sekilas terlihat halaman vihara yang luas dan dirawat dengan baik. Berbagai patung Buddha terletak di halaman vihara yang digambarkan dalam berbagai sikap, yang menyiratkan makna tertentu. Dalam vihara ini juga terdapat asrama, di mana keluarga Biksu tinggal, mereka merawat dan mengelola vihara serta memimpin ritual ibadah. Pada hari-hari tertentu, Vihara ini ramai dikunjungi umat Buddha yang menghadiri perayaan agama. Toleransi yang terbentuk ketika Vihara menggelar perayaan besar, maka warga sekitar akan membantu menyediakan tempat bermalam bagi para umat Buddha
MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia)
Kunjungan terakhir, seluruh peserta mengunjungi Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, sebuah organisasi yang merupakan wadah nasional bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sejak penghayat kepercayaan diakui oleh negara, organisasi dibentuk untuk mewadahi komunitas penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Y.M.E. Kehadiran negara terhadap para penghayat kepercayaan ini sudah ada di UUD 1945, namun keberadaan yang sesungguhnya adalah ketika terbit ketentuan baru, bahwa boleh mencantumkan penghayat kepercayaan sebagai agama di KTP.
MLKI menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat dan pemeluk agama lain di sekitarnya. Para penghayat kepercayaan bisa berbaur dan berakulturasi dengan budaya serta bisa menerima nilai-nilai baru tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar yang diyakininya. Menurut salah satu ketua presidium, dalam komunitas MLKI ini, lebih menekankan pada spiritualitas, bukan pada formalitas peribadatan. Jadi sangat dimaklumi jika bentuk peribadatan dalam tiap komunitas berbeda-beda.
Sebagai penutup rangkaian kegiatan lokakarya seluru peserta dan pelatih menyaksikan langsung Sendratari Ramayana yang memadukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama dan musik dalam satu panggung serta momentum untuk menyuguhkan kisah Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan ini serupa dengan yang terpahat di candi Prambanan. Para peserta lokakarya diajak untuk larut dalam cerita dan mencermati setiap gerakan penari, karena tak ada dialog yang terucap dari para penari, penutur cerita melaluisinden yang menggambarkan cerita melalui lagu bahasa Jawa dengan suara yang khas.
Indonesia merupakan negara "Bhinneka Tunggal Ika", beragam dari berbagai aspek, baik kekayaan alam, sistem keyakinan, dan ragam budaya. Ini menjadi poin menarik dan menjadi perhatian khusus dalam lokakarya Ethics Education Fellowship. Peserta bersama-sama belajar dan menggali bagaimana penerapan toleransi dan bagaimana proses menjalin hubungan yang baik antarumat beragama di tengah keanekaragaman budaya yang ada. Semangat persatuan yang harus terus dipupuk, untuk menciptakan sebuah kehidupan yang rukun dan damai. Sejalan dengan tujuan lokakarya, maka sesi kunjungan menjadi salah satu media untuk meningkatkan pembelajaran pendidikan etika sebagai kunci cara hidup harmonis dalam lingkungan yang beraneka ragam.