GTK Dikdas – Mariance Vila Dida adalah Kepala Sekolah Dasar Negeri 009, Masohi, Maluku Utara. Seluruh Indonesia kini mengenalnya sebagai salah satu Kepala Sekolah “pejuang” program Sekolah Ramah Anak usai mendapatkan kesempatan berbicang langsung dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam peluncuran “Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak”, Jumat (3/7/2020).
Mariance mendapatkan pertanyaan langsung dari Mas Menteri Nadiem Makarim terkait tantangan utama dirinya untuk mewujudkan Sekolah Ramah Anak di SDN 009 Masohi, Maluku Utara.
Mendapatkan kesempatan berbicara secara langsung melalui telekonferensi bersama Mendikbud tentunya memberikan motivasi lebih kepada Mariance. Dia pun terlihat sangat antusias menjawab pertanyaan Mendikbud Nadiem sekaligus seperti ingin mencurahkan isi hati tentang kondisi yang dialaminya selama memperjuangkan sekolahnya menjadi Sekolah Ramah Anak.
Bagaimana tidak, Mariance menggebu-gebu mengatakan bahwa dia telah menjalani beberapa tantangan yang sangat besar. Tantangan pertama yang dihadapinya adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang dapat membantunya mewujudkan SDN 009 Masohi menjadi sekolah ramah anak.
Dia mengaku, pada saat wacana Sekolah Ramah Anak tersebut digaungkan kepada guru dan tenaga kependidikan di sekolahnya, hanya ada tiga guru saja yang dapat mengikuti kegiatan dan mau turut melaksanakan sekolah ramah anak tersebut.
“Dari sekian guru yang ada, hanya tiga orang saja yang bisa mengikuti kegiatan dan mau ikut melaksanakan sekolah ramah anak itu. Tapi di sisi lain saya tidak mau berhenti sampai di situ. Tetap saya berjuang dengan maksimal dan tetap koordinasi, baik dengan guru-guru yang ada. Saya juga selalu membangun hubungan baik dengan guru-guru sehingga tetap mengedukasikan semua hal-hal baik pada guru, sehingga mereka bisa menerima itu,” kata Mariance.
Tantangan lainnya adalah saat guru tidak mau melaksanakan sekolah ramah anak. Bahkan guru telah dibuatkan surat tugas untuk mengikuti sosialisasi tentang kegiatan sekolah ramah anak yang harus dilakukan di sekolah.
“Dan ketika mereka pulang, saya bertanya apa saja yang didapatkan pada saat sosialisasi sekolah ramah anak itu, dan mereka beberapa guru itu yang memang belum mau,” kata Mariance.
Tidak ingin menyerah, Mariance pun berkoordinasi dengan Kepala Dinas serta fasilitator terkait permasalahannya tersebut.
“Koordinasi dengan kepala dinas sehingga selalu mendatangkan fasilitator atau narasumber, tetap optimis bisa melaksanakan sekolah ramah anak,” jelasnya.
Rasa optimis dari Mariance sangat tinggi. Dia berharap dan berdoa agar keajaiban dan mukjizat selalu menyertai dirinya, sehingga sekolah ramah anak dapat dilaksanakan di sekolah kebanggaannya tersebut.
Mariance mengatakan, sekolah ramah anak memiliki manfaat yang sangat besar. Sekolah ramah anak mengajarkan dirinya untuk lebih sabar dalam menghadapi murid bahkan menghadapi seorang guru.
“Ternyata sekolah ramah anak memiliki manfaat besar, lebih sabar menghadapi guru dan anak, guru tidak perlu capek belajar berteriak, tapi sekarang tidak pukul meja tapi dengan kode, mereka belajar lebih nyaman menyampaikan informasi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa lebih nyaman pada gurunya, orang tua bisa menerima anak mempunyai keunikan tersendiri yang tidak bisa dibandingkan dengan anak yang lain,” kata Mariance.
Optimisme tersebut dijawab oleh Mendikbud Nadiem Makarim dengan pernyataan “luar biasa” berkali-kali.
Mendengar kisah dari Mariance di Masohi, Malut, Mendikbud menangkap tiga hal penting. Pertama, adalah tidak ada perubahan tanpa “berdarah-darah”, resistensi atau tantangan pasti ada, oleh karena guru diminta untuk selalu tabah dan terus berjuang.
“Kalau tidak tabah atau selalu berjuang, itu akan sulit terjadi,” kata Nadiem.
Hal kedua yang ditangkap oleh Nadiem adalah pentingnya komunikasi yang berkesinambungan antara kepala sekolah dan guru, guru dan siswa, guru dan orang tua serta orang tua dan anaknya guna memberikan pemahaman pentingnya apa yang ingin dicapai tersebut.
“Terakhir, banyak orang tidak menyadari koneksi antara sekolah yang menyenangkan bagi murid dan pembelajaran. Banyak yang mengira sekolah tidak ada pelajaran itu senang, tapi psikologi anak yang merasa aman dan nyaman di sekolah potensi mereka eksponensial, sedangkan anak yang tertekan secara psikologis tidak aman, mereka tidak bisa menampung informasi,” katanya.